Women in Action!
Waaaawww… aku senang sekali liat film. Waktu aku kerja di rental VCD, aku sering liat film gratis, dan untungnya kerja disitu, aku bisa liat film yang masih diputar di bioskop. Piracy is a crime??? Hahaha.. santai ajah soooobbb!!!
Kalo liat film jadi lupa segalanya dehh.. Apalagi film yang dalem banget maknanya dan ada hikmah penting di dalamnya, heuheuheu mendramatisir, ya kan drama queen, weekkkss…
Pernah ga kalian berpikir dan notice perempuan2 yang ada di dalam film James Bond, Charlie’s Angels, American Pie, The Girl Next Door, dan film2 lain yang menggambarkankan keindahan fisik perempuan yang berbeda dengan penampilan wanita sehari-hari. Mereka memakai baju yang memfokuskan pada lekukan tubuh dan bagian tubuh wanita yang disukai kaum adam, selain itu riasan dan rambut berkilau tergerai indah dan kaki yang luar biasa jenjang, postur tubuh yang proporsional dan juga figur wanita sebagai resep agar laku di pasaran.
Tak sedikit film yang hanya memposisikan wanita sebagai objek atau bukan karakter utama atau jika saya ambil contoh adalah American Pie. Pada film tersebut jelas dapat kita ketahui jalan ceritanya di setiap kemunculannya para lelaki lajang berusaha menjadikan diri mereka populer di antara wanita2 dan berlomba-lomba menjadi lelaki terbaik yang dapat memberi kepuasan biologis kepada teman wanitanya.
Di dalam film, perempuan sering sekali digambarkan sebagai pemanis, penghias, dan tidak memiliki urgensi kepentingan peran apapun terhadap jalan cerita keseluruhan. Mereka muncul sebagai sosok yang perlu diselamatkan atau ditolong. Ini adalah sudut pandang pembuatan film yang sangat patriarkis, atau lebih parah lagi bersifat phallocentric. Film-film ini menggunakan sudut pandang laki-laki. Maksudnya adalah bahwa yang membuat film ini mengandaikan bahwa yang menonton film itu adalah laki-laki semua, atau cerita yang digarap menggunakan cara pikir laki-laki. Yang menarik dalam hal ini adalah: bagaimana penonton film menyaksikan film yang berlogika maskulin, ini berarti membuat perempuan membaca teks yang tidak bisa menggambarkan perempuan secara utuh. Perempuan dilihat hanya sebatas definisi fisiknya saja: memiliki tubuh dengan buah dada, pinggang yang kecil, kaki yang ramping dan rambut panjang. Sementara perempuan sebenarnya jauh lebih plural daripada definisi yang sederhana itu. Ada banyak sekali dimensi kehidupan, karakter dan cara pikir perempuan yang tentunya tidak akan dipahami oleh sang pembuat film yang maskulin itu, karena tentunya mereka tidak pernah mempunyai pengalaman hidup sebagai perempuan.
Yang kurang menguntungkan bagi kita adalah para penonton perempuan saat menonton film sejenis ini menjadi terbiasa membaca diri nya sendiri dengan sudut pandang laki-laki; dari sebuah sudut pandang yang meredusir atau menyederhanakan sosok perempuan. Perempuan hanya didefinisikan dari fisik belaka. Pada gilirannya, kitapun mengukur ke-‘perempuan’an kita sebatas penampilan fisik saja, sehingga kita sebagai kaum perempuan di zaman modern ini jadi terlalu repot dan terlalu sibuk mendefinisikan diri kita sebagai perempuan melalui segi penampilan fisik. Karena kita terlanjur memiliki peikiran bahwa definisi fisik adalahlah satu-satunya definisi yang menjadikan kita perempuan, maka kita terlalu sadar diri (self-conscious) terhadap bentuk tubuh kita(apakah kulit saya cukup normal untuk kulit ‘perempuan’? rambut saya cukup ‘perempuan’? apakah bentuk kaki atau lengan saya cukup ‘perempuan’? apakah buah dada saya cukup ukurannya sehingga cukup ‘sah’ untuk menjadikan saya ‘perempuan’?). Tanpa kita sadari kita terlalu banyak menghabiskan energi, waktu, dan uang demi merawat bahkan memodifikasi bentuk tubuh yang kita miliki. Kita lupa dengan multi dimensi lain yang dimiliki oleh perempuan.
Namun kabar baik bagi para penonton perempuan adalah, saat ini telah lahir sineas perempuan yang memiliki wewenang untuk menentukan isi film yang menggambarkan komplesitas perempuan.
Film-film yang mampu berbicara yang lahir dari sineas perempuan adalah The Piano (Jane Campion, 1993), Monster (Patty Jenkins, 2003), Virgin Suicides(Sofia Coppola, 1999), Lost in Translation (Sofia Coppola, 2003), Monalisa Smile (mike newell, 2003) ,Frida (Julie Taymor,2002)
Sementara beruntunglah kita, di Indonesia walaupun dunia film masih tergolong baru lahir, banyak juga tokoh sineas perempuan yang langsung ikut mewarnai menu perfilman nasional: Nan T. Achnas dengan film Pasir Berbisik (2001), Nia Dinata dan kawan-kawan dengan rangkaian film pendek “Perempuan Punya Cerita (2007).
posted by V.I.T.A @ Jumat, Maret 27, 2009,
0 Comments: