King Steak and Shake
Sistem marketingnya adalah dengan brosur voucher tebar dengan diskon, biar openingnya rame. Benar saja, awal buka, orang2 yang punya voucher pada dateng nukerin dg menu steak. Eh karena salah tuh voucher jadi perkara, karena kalo 1 voucher 2 orang makan gratis semua, niscaya selama 1 minggu kita bangkrut duluan. Karena buanyak yg datang sedangkan kita belanja terus. Tirakatan.
Akhirnya kita batasi menunya, ada yg komplain jg dan ga jadi makan, hahaha kelihatan suka gratisan.
Awal bulan memang rame, karena karyawan juga masih baru, dan cowok2 yang cepet kerjanya. Nah beberapa bulan lagi ada masalah tenaga kerja, karena ada provokasi dan juga yang saya percaya masak malah mau keluar. Dengan prinsip pantang menyerah, ya sudah lah cari yang lain. Tapi niat hati tidak ingin salah memilih, akhirnya saya pertahankan 2 orang cewe di situ. Eh malah mereka minta kerja berdua terus dan gajinya dinaikin, nah loh baru 1 bulan kerja kok sudah minta aneh2, apalagi cafe nya jadi sepi, ga ada feedback sama sekali tuh karyawan bisanya kerja saja, tidak inisiatif.
Perlu evaluasi. Nah menginjak bulan ke 3 akhirnya saya sampaikan bahwa saya ga mau lanjut lagi karena tidak ada pendapatan selama 3 bulan hanya tombooookk terus untuk belanja. Dan kesimpulan saya:
1. Gaya hidup masyarakat untuk jajanan gituan belum sampai
2. Pendapatan masyarakat yang minim
3. Mata pencaharian hanya sebagai tukan borongan yang upah minimum 15.000 per barang (amplas)
4. Pendidikan masyarakat dan tingkat sosial masih rendah, alias kagak gauull.
Lucunya lagi pada punya mobil tapi pesennya jus dan snack doang, kasian pacarnya kedinginan.
Jadi untuk bisnis cafe di kota transit yang kecil mungkin bisa dimulai 5 tahun lagi, saat banyak pendatang, dan perusahaan baru di Jepara.
Nah, sekarang lagi muter otak gimana biar duit 10jt itu balik lagi. Harus di switch ke Jogja, dengan aset:
1. Hotplate 20 pcs
2. Piring 2 lusin
3. Meja
4. Nota
5. Meja
6. Dll
posted by V.I.T.A @ Sabtu, Maret 24, 2012, ,